10 Masalah Franchisor-Franchisee dan Cara Mengatasinya
Bisnis franchise memang menawarkan keuntungan besar karena sistemnya sudah teruji. Namun nyatanya, hubungan franchisor dan franchisee tidak selalu berjalan mulus. Ketidaksepahaman dalam ekspektasi, aturan, hingga operasional sering kali menjadi pemicu konflik. Jika tidak dikelola dengan baik, masalah ini bisa merusak kerja sama dan bahkan menyebabkan franchisee keluar dari jaringan. Lalu, apa saja masalah yang sering muncul dalam hubungan franchisor-franchisee? Simak daftar berikut agar Anda bisa mengantisipasi dan menghindari konflik di masa depan!
Masalah Franchisor-Franchisee yang Paling Sering Terjadi
Hubungan antara franchisor dan franchisee seharusnya bersifat saling menguntungkan, tetapi dalam praktiknya, ada berbagai tantangan yang bisa menyebabkan ketegangan bahkan perpecahan. Berikut adalah beberapa masalah umum yang sering terjadi dalam kemitraan franchise, beserta solusi yang bisa diterapkan agar kerja sama tetap berjalan harmonis.
1. Ekspektasi yang Tidak Selaras

Franchisee sering kali memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap keuntungan bisnis tanpa memahami bahwa setiap usaha membutuhkan waktu untuk berkembang.
Di sisi lain, franchisor mungkin mengasumsikan bahwa setiap franchisee sudah memiliki pemahaman bisnis yang cukup—padahal tidak semua orang memiliki pengalaman dalam menjalankan usaha.
Maka dari itu, komunikasi yang jelas sejak awal sangatlah penting. Franchisor harus memberikan gambaran realistis mengenai perjalanan bisnis, termasuk potensi keuntungan dan tantangan yang mungkin dihadapi. Sementara franchisee juga perlu memahami bahwa mereka tidak hanya membeli brand, tetapi juga harus aktif mengelola bisnis sesuai sistem yang telah ditetapkan.
2. Kurangnya Dukungan dari Franchisor dan Inisiatif dari Franchisee
Beberapa franchisee merasa tidak mendapatkan bimbingan yang cukup dari franchisor, terutama dalam menghadapi tantangan operasional dan pemasaran.
Sebaliknya, franchisor juga sering menghadapi franchisee yang pasif dan terlalu bergantung pada pusat, tanpa mencoba mencari solusi sendiri.
Untuk menyikapi ini, franchisor mungkin perlu menyediakan program pelatihan dan sistem pendampingan yang berkelanjutan. Sementara itu, franchisee juga harus proaktif mencari informasi dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia untuk mengatasi masalah di lapangan.
3. Biaya dan Royalti yang Menjadi Beban Franchisee
Salah satu masalah paling umum dalam bisnis franchise adalah biaya royalti yang dianggap terlalu tinggi oleh franchisee, terutama jika mereka merasa bahwa keuntungan yang diperoleh belum sebanding dengan pengeluaran.
Dari sisi franchisor, keterlambatan atau ketidakpatuhan dalam pembayaran royalti bisa mengganggu operasional dan perkembangan sistem franchise secara keseluruhan.
Maka solusinya adalah transparansi. Franchisor perlu menjelaskan secara detail bagaimana royalti digunakan untuk mendukung bisnis, seperti untuk pemasaran, riset produk, atau pengembangan sistem. Franchisee pun perlu memahami bahwa biaya tersebut adalah investasi dalam keberlanjutan brand yang mereka jalankan. Jadi, jika ada kendala keuangan, komunikasi terbuka dengan franchisor sangat diperlukan untuk mencari solusi bersama.
4. Ketidaksesuaian dengan Standar Operasional (SOP)

SOP yang telah ditetapkan oleh franchisor bertujuan untuk menjaga kualitas dan konsistensi brand. Namun, beberapa franchisee merasa aturan terlalu kaku dan ingin lebih fleksibel dalam menjalankan bisnis mereka.
Padahal, ini bisa berdampak pada kualitas layanan dan produk, yang pada akhirnya merugikan reputasi brand secara keseluruhan.
Itu kenapa SOP yang dibuat harus mampu menjaga keseimbangan antara standar yang jelas dan fleksibilitas dalam implementasi di lapangan. Franchisor bisa mengakomodasi kebutuhan lokal tanpa mengorbankan identitas brand, sementara franchisee perlu menyadari bahwa keberhasilan mereka juga bergantung pada kepatuhan terhadap standar yang telah terbukti berhasil.
5. Lokasi Usaha yang Tidak Menguntungkan
Franchisee sering kali menganggap bahwa lokasi usaha yang dipilih tidak sesuai dengan potensi pasar, sementara franchisor berusaha mengikuti strategi ekspansi yang lebih luas.
Padahal, salah memilih lokasi usaha bisa berdampak pada rendahnya jumlah pelanggan dan omzet yang tidak sesuai harapan.
Oleh sebab itu, proses pemilihan lokasi harus berbasis analisis data yang kuat. Franchisor harus memberikan panduan dan rekomendasi yang jelas mengenai lokasi strategis. Sementara franchisee perlu melakukan riset tambahan sebelum mengambil keputusan untuk membuka gerai.
6. Perbedaan Strategi Pemasaran
Beberapa franchisee merasa bahwa strategi pemasaran dari pusat kurang efektif untuk wilayah mereka sehingga mereka ingin menjalankan promosi sendiri.
Namun, jika pemasaran dilakukan secara tidak terkoordinasi, citra brand bisa menjadi tidak konsisten, yang berisiko menurunkan nilai merek secara keseluruhan.
Solusinya, franchisor perlu menyediakan strategi pemasaran yang fleksibel dan relevan untuk berbagai daerah. Namun, franchisee harus tetap mematuhi batasan dan arahan yang sudah ditetapkan untuk menjaga identitas brand itu sendiri.
7. Kurangnya Inovasi dalam Produk dan Layanan

Franchisee sering kali merasa bahwa franchisor kurang inovatif dalam mengembangkan produk dan layanan untuk menghadapi perubahan tren pasar.
Sebaliknya, franchisor khawatir jika franchisee melakukan inovasi sendiri tanpa uji coba yang cukup karena dapat berisiko bagi brand.
Untuk mengatasinya, franchisor harus aktif dalam melakukan riset dan mengembangkan inovasi yang bisa diterapkan di seluruh jaringan. Franchisee pun diberikan ruang untuk mengusulkan ide, tetapi tetap harus melalui mekanisme uji coba sebelum diterapkan secara luas.
8. Konflik Akibat Ekspansi yang Terlalu Cepat
Saat franchisor membuka cabang baru dalam jarak yang terlalu dekat dengan gerai yang sudah ada, franchisee lama bisa merasa dirugikan karena berkurangnya pangsa pasar.
Namun, dari sisi franchisor, ekspansi adalah bagian dari strategi pertumbuhan bisnis.
Maka, franchisor harus memiliki kebijakan yang jelas mengenai jarak antar gerai dan transparan dalam komunikasi kepada franchisee. Ini penting untuk menghindari persaingan internal yang tidak diinginkan.
9. Komunikasi yang Tidak Efektif
Kurangnya komunikasi antara franchisor dan franchisee sering kali menjadi akar dari banyak masalah lainnya.
Franchisee mungkin merasa tidak mendapatkan informasi yang cukup, sementara franchisor merasa franchisee tidak melaporkan kendala yang mereka hadapi.
Itu alasan kenapa membangun sistem komunikasi yang terbuka dan terjadwal sangat diperlukan. Franchisor mungkin perlu mengadakan pertemuan rutin, menyediakan platform komunikasi yang mudah diakses, dan memberikan feedback yang konstruktif kepada franchisee.
10. Ketidakjelasan dalam Hak dan Kewajiban

Beberapa franchisee merasa bahwa ada ketentuan dalam kontrak yang tidak sesuai dengan ekspektasi mereka, sementara franchisor menganggap bahwa semua sudah dijelaskan dalam perjanjian yang ditandatangani.
Solusinya, franchisor harus memastikan bahwa setiap klausul dalam perjanjian waralaba telah disampaikan dengan transparan. Sementara itu, franchisee harus membaca dan memahami seluruh isi kontrak sebelum menandatangani.
Dari artikel ini, kita bisa melihat bahwa hubungan antara franchisor dan franchisee bukan sekadar hitam di atas putih, tetapi juga tentang bagaimana membina kerja sama, membangun komunikasi yang efektif, dan saling memahami tanggung jawab. Dengan mengantisipasi potensi masalah dan menerapkan solusi yang tepat, bisnis franchise bisa berkembang secara sehat dan berkelanjutan.
Ingin lebih banyak insight seputar dunia franchise? Kunjungi KabarFranchise.com dan temukan strategi bisnis yang bisa membantu Anda sukses!


Leave a Reply